Sabtu, 11 Februari 2017

Memaafkan

Aku dan dan Gonde sudah bersahabat sejak lama. Karena campur tangan sang Maha Kuasa, semua ilmu dan nilai-nilai yang kami pelajari juga ternyata asalnya dari tempat yang sama. Tetapi implementasi kami jelas berbeda. Ya ialah, setiap manusia itu kan unik. Konon katanya sepasang kembar identik juga memiliki keunikannya masing-masing.
Untuk aku dan Gonde, persamaan di antara kami hanyalah tentang mimpi kami untuk dunia. Kami sama-sama ingin mengubah dunia. Yep.. itu adalah hasil komitmen kami saat masih duduk di bangku kuliah. Statement terlahir setelah kami saling berbagi dan menyelesaikan membaca buku Sean Covey tentang Seven Habits of Highly Effective Teens. Kalau tidak salah, dulu warna covernya merah dan biru. Ngejreng banget!
Pagi ini aku terbangun dan tak lama kemudian bertanya-tanya kembali. Bagian apa dari dunia ini yang dapat aku ubah di pagi ini. Dan ide itupun tercetus kembali. Terlontar begitu saja dari salah satu file memori masa lalu. Idenya adalah tentang dunia. Aku ingin membuat hidup di dunia berubah menjadi lebih mudah. Tidak hanya hidupku tapi juga hidup orang lain. Sungguh Niat yang luhur dan agung.
Sekonyong-konyong saat itu aku merasakan ada cahaya biru lembut menyoroti tubuhku yang belum mandi dan bersih-bersih. Cahaya itu turun dari atas dan momen itu bertahan untuk beberapa saat.
“Breett!!” Tiba-tiba sensasi itu terhenti. Dan terpampanglah satu pesan sponsor tepat di depanku. Begini tulisannya, “Luhur tanpa paksaan!! Peace!!”
Pelajaran pagi ini, tidak baik berlama-lama dalam dunia khayalan. Apalagi di pagi hari. Lamunan pagi jika tidak dikelola dengan baik akan membuat teman-teman terlambat mengejar agenda-agenda lain.
Teman-teman pasti pernah dengar kata maaf. Ya kan…?? Ya ialah. Teman-teman yang membaca tulisan ini tidak terlahir di Mars kan? Hehe..
Sepengetahuan ilmu sosial yang bercampur dengan keahlian sastra yang aku miliki, kata ini ada dan sudah terpatri di dalam budaya atau tradisi manapun di dunia. Tidak hanya dari Sabang sampai Merauke. Tapi juga meluas dari wilayah Bujur Barat ke Bujur Timur; Lintang Utara ke Lintang Selatan dalam bola dunia.  Tolong simpan kembali peta anda.. Tulisan ini sama sekali tidak akan memperdalam tentang ilmu Geografi.
Kata maaf. Itu lah topik tulisan ini. Teman-temanku yang baik hati dan cantik-ganteng ingat tidak kapan kalian terakhir kali menggunakan kata ini? Dan, di mana kalian paling sering mendengarkan penggunaan kata ini?
Buat aku dan Gonde, kata ini paling sering kami dengar atau tepatnya kami gunakan ketika kami sedang mengevaluasi diri. Ketika kami belajar bahwa kedewasaan tidak ditentukan oleh usia melainkan oleh kerendahan hati untuk terbuka dan jujur atas diri sendiri.
Kami berdua memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang bagaimana kami mempelajari makna kata Ini. Tetapi karena kami sudah berteman sejak kecil, tidak jarang kami pun harus menjalani hal yang sama dan mempelajari makna kata ini dari kejadian yang sama. Misalnya ketika di suatu sore hari Minggu kami gagal melarikan diri karena kedapatan memanjat pohon kelapa milik tetangga. Atau ketika tanpa sengaja kami memecahkan vas bunga raksasa di rumah teman sekolah kami yang kebetulan memiliki toko kelontong yang laris manis. Siang itu kami sedang bermain hide and seek. Memecahkan vas bunga sungguh bukan bagian dari permainan. Atau ketika orangtua kami memurkai kami habis-habisan gara-gara kami keasikan bermain hingga larut malam tanpa memberi kabar. Saat itu, kami memang sengaja tidak ingin menelpon ke rumah, biar tidak buru-buru dijemput. Namanya juga anak-anak pintar. Segala cara dilakukan untuk bisa bermain lebih lama. Aku tidak tahu dengan Gonde, tapi aku masih ingat malam itu aku melihat ibu yang menangis khawatir aku diculik orang. 
Ahhh…. Itu adalah masa-masa intimidasi yang sangat memojokkan dan juga memalukan, menurutku. Aku tidak menemukan celah untuk bisa membela diri. Akhirnya, untuk bisa melepaskan diri dari kondisi itu, tidak ada cara lain. Terpaksa jurus ampuh pun dirapal dan dipertontonkan. Aku mengucapkan kata maaf diiringi dengan suara sesunggukan karena saat itu aku melakukannya sambil menangis.
Dalam kronologisnya aku menyadari bahwa aku merasa tersudutkan biasanya kata yang paling sering aku keluarkan untuk bisa melepaskan diri adalah kata “Iya”. Tapi sayangnya kata ini tidak menghentikan perlakuan intimidasi yang rasakan saat itu. Betapa tidak? Semakin banyak aku menggunakan kata ‘iya’ tersebut, semakin aku menjadi kecil dihadapan mereka dan semakin aku mengkerdilkan pelajaran dari teguran-teguran mereka. Aku hanya ingin semua segera selesai dan aku bisa cepat pergi.
Sebaliknya, jika aku menggunakan kata maaf lebih sering hal-hal yang tidak menyenangkan itu secara perlahan namun pasti berkurang dan akhirnya berhenti. Hingga aku pun bebas dan bisa melangkah ringan dan melanjutkan aktifitas ku yang lain. Kata maaf adalah usaha menyelamatkan diri yang sangat ampuh. Aku patut berterimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena telah menciptakan kata maaf ini untuk para pelaku pelanggaran seperti aku. Bandel-bandel emang bandel.
Gonde juga melakukan hal yang sama untuk bisa keluar dengan selamat dari kondisi yang tidak mengenakkan itu. Tapi aku ingat dia pernah memberikan opini yang cukup berbeda dari apa yang kupahami sebelumnya. Menurut dia, kata maaf tidaklah sesakti yang aku jelaskan. Yang lebih kuat atau berkuasa atau lebih sakti agar seseorang bisa lepas dari hal-hal buruk adalah kata ‘memaafkan’.
“Bro, coba bayangkan kalau waktu itu tetangga kita yang pemarah itu nggak memaafkan kita.. Apa iya kita bisa diizinkan pulang begitu saja? Kalaupun kita bisa pulang, apa iya kita masih bisa terus bermain di sekitar situ dengan rasa aman? Atau kalau malam itu ortu kita nggak mau memaafkan kita dan kita ditolak sebagai anak, wah… bisa-bisa amburadul tuh hidup kita.” jelasnya kepadaku.
“So, gua pikir justru karena mereka mau memaafkan kita, maka kita akhirnya bisa bebas. Bebas untuk jangka pendek dan untuk jangka panjang. Dan lagi, menurut gua dengan memaafkan mereka juga terbebas dari masa-masa itu dan nggak perlu terikat dan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran lebih lama lagi dengan masa-masa itu. Kita kan nakalnya nggak hanya sekali dua kali. Kalau ortu kita gagal move on dari yang pertama dan kedua, bisa-bisa di kenakalan ketiga…… Tau dah…,” saat itu matanya ia arahkan ke langit-langit seakan berharap akan mendapatkan suatu penglihatan.
“Benar kan bro? Kata maaf emang sakti. Tapi memaafkan jauh lebih sakti,” tatapannya kembali ia arahkan kepadaku.
Untuk mendukung penjelasannya siang itu, dia merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan kemudian menunjukkan dompet kulitnya yang usang. Di situ terselip foto mesra dia dan kedua orangtuanya. Foto itu ia cetak 6 tahun yang lalu. Setahun sebelum ayahnya meninggal.
“Karena dulu ortu gua bisa memaafkan gua untuk kenakalan-kenakalan gua waktu masih anak-anak, gua juga akhirnya belajar memaafkan. Sehingga gua melanjutkan hari-hari gua tanpa rasa takut. Rasa takut gua berganti dengan rasa hormat. You know… kalau tidak begitu, foto ini pasti tidak akan pernah ada. Dan gua akan pernah memaknainya seindah yang gua rasakan sekarang.”
Memaafkan dan dimaafkan adalah rantai yang bagaimanapun pasti akan terhubung. Semua hanyalah masalah waktu. Segala sesuatu yang terhubung dengan baik pastinya akan mendorong semakin banyaknya kemudahan bagi kita dalam melangkah.
Peradaban dunia akan terus berkembang. Tetapi orang-orang yang ada di dalamnya terkadang justru terjebak di dalam dirinya sendiri ketika dia tidak mampu memaafkan. Seandainya banyak orang yang belajar dan mampu memaafkan, tentunya kemudahan-kemudahan dalam kehidupan akan semakin menjamur di manapun dan kehidupan yang lebih mudah akan menjadi nyata.
Jika mengucapkan maaf gampang, tidak demikian dengan memaafkan. Begitulah menurut opini banyak orang.
Aku setuju bahwa memaafkan memang sulit. Pasti sulit! Apalagi jika orang yang bersangkutan merasa tidak pernah dimaafkan sebelumnya.
“Pi..pi..pi..pip…!! Pi..pi..pi..pip!!!” Alarm handphoneku berbunyi. Gawat… Aku sudah terlambat dan harus segera mengejar waktu untuk mengganti jadwal.
Mohon maaf ya teman-teman…
Mau lanjut dulu…






Menulis Lagi

Waahh… Nggak terasa sudah hampir dua minggu berlalu dan ada banyak cerita untuk dituliskan. Sayangnya mereka hanya tidak singgah cukup lama di dalam kepalaku. Layaknya pesawat yang hanya melintas meninggalkan suara bising dan membelah langit-langit di dalam kepalaku. Ya tak satupun ide itu yang membentur saraf jemariku dan menggerakkan tuas semangatku untuk menulis lagi. Hingga tadi malam, nyala semangat itu terlihat sangat muram, kelabu dan temaram. Ia terbungkus dinginnya musim hujan kota Jakarta di bulan Februari. Tapi hari ini tidak.
Beberapa hari sebelumnya, layar di laptopku selalu menyedot habis semua energiku. Imajinasiku menguap hilang bersama ratusan baris kalimat yang saling bertabrakan dalam pengucapan hingga akhirnya semuanya gagal terlahir. Tidak satu atau dua kali saja ragaku terlelap lelah di hadapan sang laptop. Namun sesuatu di dalam jiwaku sepertinya masih terus bertahan dan membara. Setidakanya begitulah menurut Gonde. Itu juga pembenaran yang ia pakai setiap kali aku memarahi dia ketika berusaha membangunkanku dari tidur.
Bangun pagi dengan perasaan bersalah atas tagihan janji yang belum terpenuhi sangatlah tidak menyenangkan. Ini lah keisengan gila yang dia sedang lakukan padaku selama beberapa hari belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung. Dia mengguncang-guncang badanku sampai aku hampir jatuh dari tempat dudukku. Itulah yang terjadi setiap kali aku duduk di depan laptop dan hanya melamun sambil menunggu datangnya lelap. Tiba-tiba dia akan hadir di situ dan melakukan aksinya. Dasar manusia aneh. Ini juga terjadi saat aku sedang bersemedi di dalam toilet. Setelah menunggu beberapa saat, dia akan menggedor-gedor pintu agar aku segera keluar dan menyelesaikan tulisanku.
Gonde adalah satu-satunya teman dekatku yang terus berusaha memompa semangatku untuk kembali berbagi cerita. Menurut dia aku punya bakat dalam menulis. Ketika sahabat-sahabat yang lain harus menyerah dalam memotivasiku untuk karena mereka harus kembali ke dalam realitanya masing-masing, Gonde juga akan melakukan hal yang sama. Dia akan pergi kembali ke realita hidupnya sendiri. Tetapi tidak lama. Hanya sebentar. Segera dia akan kembali lagi dan mengacaukan frekunesi rutinitas hidupku, khususnya ritual tidur di depan laptopku.
Kami memang sahabat dekat. Tetapi, sering sekali aku berdoa kiranya kami tidak perlu sedekat itu.
Kalau sudah seperti ini aku akan balik badan lalu mengambil satu batu ajaib dari kampung yang sengaja aku simpan untuk masa-masa darurat seperti ini. Batu ajaib ini bekerja seperti batu kripton yang bisa menangkal kekuatan Superman. Bedanya, batu ini berfungsi untuk mengusir hanya orang-orang baik hati namun menyebalkan. Cara pakainya juga sangat gampang. Cukup masukkan batu ke dalam mulut, jepit erat dengan gigi geraham. Bisa di sebelah kiri ataupun kanan. Lalu tutup mulut serapat mungkin hingga barisan gigi depan tidak terlihat. Setelah beberapa saat, dijamin orang yang hendak diusir pasti akan pergi.
Hari ini udara dingin disertai hujan deras mengguyur Jakarta. Seperti biasa aku dan Gonde akan kembali hangout bareng karena urusan pekerjaan. Jika waktunya memungkinkan biasanya kami akan mencari alternatif lain dengan bermain basket. Tetapi belakangan ini, mungkin karena faktor usia, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiskusi. Diskusi tentang apa saja.
“Batu ajaibnya sudah dilepas, belum?” Pertanyaan ini langsung menodongku tanpa basa-basi. Sambil asik menyantap habis parcel nasi kuning dari hidangan bakti sosial yang kami hadiri tadi siang, dia melanjtkan, “Kalau belum… ya tolong dilepesin dong bro. Gua mau ngomong.”
Matanya terus kelayapan mencari sisa parcel atau hidangan lain yang masih ada di sekitar kami. “Bro, lu tau nggak dunia ini besarnya seperti apa?” lanjutnya.
Saat itu tangannya berhasil meraih sepotong risol goreng yang ada di dalam kantong plastik di dekat tempat dudukku. Aku tidak sempat menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan tidak sempat berpikir tentang jawaban yang tepat untuk itu. Dengan cepat jari-jemarinya berhasil melepaskan pembungkus risol itu dan siap memasukkan risol yang cukup besar itu secara utuh ke dalam mulutnya.
“Besar banget..!!” sambungnya tanpa berusaha menjelaskan konteks.
“Besar banget apanya bro? Risolnya? Hahaha.. Kalau udah urusan risol, lu kan selalu ga peduli ukuran. Kecil besar semua bisa dilahap habis ama lu,” jawabku sambil berusaha menebak arah percakapan kami. Pikiranku masih berada dalam cahaya temaram.
“Yaeelah… bro.. Dunia bro!! Dunia!! Dunia itu besar banget..,” jawabanya dengan mata yang berbinar-binar.
“Itu benar banget bro. Tapi, tau nggak? Buat gua, dunia yang besar ini bisa menyusut. Lebih tepatnya disusutkan. Dunia ini bisa menjadi sangat kecil sehingga sangat bisa untuk dikendalikan. Caranya? Banyak. Salah satunya ya… menulis.” Kali ini dia berbicara sambil mencondongkan badannya ke arahku. Jari-jari tangannya saling bertemu dan mulutnya berhenti menguyah. Risolnya telah tertelan habis.
“Konon katanya, sebuah tulisan mampu menciptakan dunia yang lebih kecil, lebih fokus, lebih mengkerucut. Dunia di mana waktu selalu terhenti. Konon lagi katanya seorang penulis juga bisa mengendalikan dunia lewat riak-riak kecil di dalam tulisannya. Ya… tentunya itu bisa dilakukan setelah dunia itu dijadikan kecil terlebih dahulu,” nada suaranya terdengar sangat meyakinkan.
“Nah… lu kan bisa nulis. Dan yang gua tau lu juga sebenarnya suka berbagi bercerita. Memang sih cerita dan guyonan lu emang belum cukup menarik dan belum ada yang berhasil dibuat menjadi film juga. Tapi gua masih ingat resolusi lu untuk tahun ini, bro. Lu mau membantu mengubah dunia kan?”
“Woooww.. kata siapa bro? Hahaha… ngarang lu..!!” jawabku kepadanya sambil berusaha menahan diri agar suara tawaku tidak bertambah keras.
“Hahaha.. iya lu bener. Gua ngarang doang soal resolusi lu. Kan waktu itu lu nulisnya juga pake sembunyi-sembunyi. Tapi nggak lama kemudian, kan lu juga yang datang ke gua dan bilang mau jadi penulis di tahun ini” dia menanggapiku sambil menyeringai.
“Tapi, Lu setuju kan kalau seorang penulis bisa mempengaruhi dunia?” pungkasnya.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Haha.. jelas ini sudah di luar nalarku.
Aku tahu dia baru saja menelan habis satu potong risol goreng ukuran besar dengan cabe hijau yang tidak kalah besar juga. Aku tahu itu pasti telah mempengaruhi apa yang baru saja dia katakan. Aku tahu aku ragu akan banyak hal. Tapi aku juga tahu... aku tahu aku akan segera menulis lagi..
Stretching dulu ahh... biar nulis lagi...