Aku dan dan Gonde sudah bersahabat sejak lama. Karena campur
tangan sang Maha Kuasa, semua ilmu dan nilai-nilai yang kami pelajari juga
ternyata asalnya dari tempat yang sama. Tetapi implementasi kami jelas berbeda.
Ya ialah, setiap manusia itu kan unik. Konon katanya sepasang kembar identik
juga memiliki keunikannya masing-masing.
Untuk aku dan Gonde, persamaan di antara kami hanyalah
tentang mimpi kami untuk dunia. Kami sama-sama ingin mengubah dunia. Yep.. itu
adalah hasil komitmen kami saat masih duduk di bangku kuliah. Statement
terlahir setelah kami saling berbagi dan menyelesaikan membaca buku Sean Covey
tentang Seven Habits of Highly Effective Teens. Kalau tidak salah, dulu warna
covernya merah dan biru. Ngejreng banget!
Pagi ini aku terbangun dan tak lama kemudian bertanya-tanya kembali.
Bagian apa dari dunia ini yang dapat aku ubah di pagi ini. Dan ide itupun
tercetus kembali. Terlontar begitu saja dari salah satu file memori masa lalu.
Idenya adalah tentang dunia. Aku ingin membuat hidup di dunia berubah menjadi
lebih mudah. Tidak hanya hidupku tapi juga hidup orang lain. Sungguh Niat yang
luhur dan agung.
Sekonyong-konyong saat itu aku merasakan ada cahaya biru
lembut menyoroti tubuhku yang belum mandi dan bersih-bersih. Cahaya itu turun
dari atas dan momen itu bertahan untuk beberapa saat.
“Breett!!” Tiba-tiba sensasi itu terhenti. Dan terpampanglah
satu pesan sponsor tepat di depanku. Begini tulisannya, “Luhur tanpa paksaan!!
Peace!!”
Pelajaran pagi ini, tidak baik berlama-lama dalam dunia
khayalan. Apalagi di pagi hari. Lamunan pagi jika tidak dikelola dengan baik
akan membuat teman-teman terlambat mengejar agenda-agenda lain.
Teman-teman pasti pernah dengar kata maaf. Ya kan…?? Ya
ialah. Teman-teman yang membaca tulisan ini tidak terlahir di Mars kan? Hehe..
Sepengetahuan ilmu sosial yang bercampur dengan keahlian
sastra yang aku miliki, kata ini ada dan sudah terpatri di dalam budaya atau
tradisi manapun di dunia. Tidak hanya dari Sabang sampai Merauke. Tapi juga
meluas dari wilayah Bujur Barat ke Bujur Timur; Lintang Utara ke Lintang
Selatan dalam bola dunia. Tolong simpan
kembali peta anda.. Tulisan ini sama sekali tidak akan memperdalam tentang ilmu
Geografi.
Kata maaf. Itu lah topik tulisan ini. Teman-temanku yang
baik hati dan cantik-ganteng ingat tidak kapan kalian terakhir kali menggunakan
kata ini? Dan, di mana kalian paling sering mendengarkan penggunaan kata ini?
Buat aku dan Gonde, kata ini paling sering kami dengar atau
tepatnya kami gunakan ketika kami sedang mengevaluasi diri. Ketika kami belajar
bahwa kedewasaan tidak ditentukan oleh usia melainkan oleh kerendahan hati
untuk terbuka dan jujur atas diri sendiri.
Kami berdua memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang
bagaimana kami mempelajari makna kata Ini. Tetapi karena kami sudah berteman
sejak kecil, tidak jarang kami pun harus menjalani hal yang sama dan
mempelajari makna kata ini dari kejadian yang sama. Misalnya ketika di suatu
sore hari Minggu kami gagal melarikan diri karena kedapatan memanjat pohon
kelapa milik tetangga. Atau ketika tanpa sengaja kami memecahkan vas bunga
raksasa di rumah teman sekolah kami yang kebetulan memiliki toko kelontong yang
laris manis. Siang itu kami sedang bermain hide and seek. Memecahkan vas bunga
sungguh bukan bagian dari permainan. Atau ketika orangtua kami memurkai kami
habis-habisan gara-gara kami keasikan bermain hingga larut malam tanpa memberi
kabar. Saat itu, kami memang sengaja tidak ingin menelpon ke rumah, biar tidak
buru-buru dijemput. Namanya juga anak-anak pintar. Segala cara dilakukan untuk
bisa bermain lebih lama. Aku tidak tahu dengan Gonde, tapi aku masih ingat
malam itu aku melihat ibu yang menangis khawatir aku diculik orang.
Ahhh…. Itu adalah masa-masa intimidasi yang sangat
memojokkan dan juga memalukan, menurutku. Aku tidak menemukan celah untuk bisa
membela diri. Akhirnya, untuk bisa melepaskan diri dari kondisi itu, tidak ada
cara lain. Terpaksa jurus ampuh pun dirapal dan dipertontonkan. Aku mengucapkan
kata maaf diiringi dengan suara sesunggukan karena saat itu aku melakukannya
sambil menangis.
Dalam kronologisnya aku menyadari bahwa aku merasa tersudutkan
biasanya kata yang paling sering aku keluarkan untuk bisa melepaskan diri
adalah kata “Iya”. Tapi sayangnya kata ini tidak menghentikan perlakuan intimidasi
yang rasakan saat itu. Betapa tidak? Semakin banyak aku menggunakan kata ‘iya’
tersebut, semakin aku menjadi kecil dihadapan mereka dan semakin aku mengkerdilkan
pelajaran dari teguran-teguran mereka. Aku hanya ingin semua segera selesai dan
aku bisa cepat pergi.
Sebaliknya, jika aku menggunakan kata maaf lebih sering
hal-hal yang tidak menyenangkan itu secara perlahan namun pasti berkurang dan
akhirnya berhenti. Hingga aku pun bebas dan bisa melangkah ringan dan
melanjutkan aktifitas ku yang lain. Kata maaf adalah usaha menyelamatkan diri
yang sangat ampuh. Aku patut berterimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena
telah menciptakan kata maaf ini untuk para pelaku pelanggaran seperti aku.
Bandel-bandel emang bandel.
Gonde juga melakukan hal yang sama untuk bisa keluar dengan
selamat dari kondisi yang tidak mengenakkan itu. Tapi aku ingat dia pernah
memberikan opini yang cukup berbeda dari apa yang kupahami sebelumnya. Menurut
dia, kata maaf tidaklah sesakti yang aku jelaskan. Yang lebih kuat atau
berkuasa atau lebih sakti agar seseorang bisa lepas dari hal-hal buruk adalah kata
‘memaafkan’.
“Bro, coba bayangkan kalau waktu itu tetangga kita yang
pemarah itu nggak memaafkan kita.. Apa iya kita bisa diizinkan pulang begitu
saja? Kalaupun kita bisa pulang, apa iya kita masih bisa terus bermain di
sekitar situ dengan rasa aman? Atau kalau malam itu ortu kita nggak mau memaafkan
kita dan kita ditolak sebagai anak, wah… bisa-bisa amburadul tuh hidup kita.”
jelasnya kepadaku.
“So, gua pikir justru karena mereka mau memaafkan kita, maka
kita akhirnya bisa bebas. Bebas untuk jangka pendek dan untuk jangka panjang. Dan
lagi, menurut gua dengan memaafkan mereka juga terbebas dari masa-masa itu dan
nggak perlu terikat dan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran lebih lama lagi
dengan masa-masa itu. Kita kan nakalnya nggak hanya sekali dua kali. Kalau ortu
kita gagal move on dari yang pertama dan kedua, bisa-bisa di kenakalan ketiga……
Tau dah…,” saat itu matanya ia arahkan ke langit-langit seakan berharap akan
mendapatkan suatu penglihatan.
“Benar kan bro? Kata maaf emang sakti. Tapi memaafkan jauh
lebih sakti,” tatapannya kembali ia arahkan kepadaku.
Untuk mendukung penjelasannya siang itu, dia merogoh sesuatu
dari dalam tasnya dan kemudian menunjukkan dompet kulitnya yang usang. Di situ
terselip foto mesra dia dan kedua orangtuanya. Foto itu ia cetak 6 tahun yang
lalu. Setahun sebelum ayahnya meninggal.
“Karena dulu ortu gua bisa memaafkan gua untuk kenakalan-kenakalan
gua waktu masih anak-anak, gua juga akhirnya belajar memaafkan. Sehingga gua melanjutkan
hari-hari gua tanpa rasa takut. Rasa takut gua berganti dengan rasa hormat. You
know… kalau tidak begitu, foto ini pasti tidak akan pernah ada. Dan gua akan
pernah memaknainya seindah yang gua rasakan sekarang.”
Memaafkan dan dimaafkan adalah rantai yang bagaimanapun pasti
akan terhubung. Semua hanyalah masalah waktu. Segala sesuatu yang terhubung
dengan baik pastinya akan mendorong semakin banyaknya kemudahan bagi kita dalam
melangkah.
Peradaban dunia akan terus berkembang. Tetapi orang-orang
yang ada di dalamnya terkadang justru terjebak di dalam dirinya sendiri ketika
dia tidak mampu memaafkan. Seandainya banyak orang yang belajar dan mampu
memaafkan, tentunya kemudahan-kemudahan dalam kehidupan akan semakin menjamur
di manapun dan kehidupan yang lebih mudah akan menjadi nyata.
Jika mengucapkan maaf gampang, tidak demikian dengan
memaafkan. Begitulah menurut opini banyak orang.
Aku setuju bahwa memaafkan memang sulit. Pasti sulit!
Apalagi jika orang yang bersangkutan merasa tidak pernah dimaafkan sebelumnya.
“Pi..pi..pi..pip…!! Pi..pi..pi..pip!!!” Alarm handphoneku
berbunyi. Gawat… Aku sudah terlambat dan harus segera mengejar waktu untuk
mengganti jadwal.
Mohon maaf ya teman-teman…
Mau lanjut dulu…