Sabtu, 11 Februari 2017

Menulis Lagi

Waahh… Nggak terasa sudah hampir dua minggu berlalu dan ada banyak cerita untuk dituliskan. Sayangnya mereka hanya tidak singgah cukup lama di dalam kepalaku. Layaknya pesawat yang hanya melintas meninggalkan suara bising dan membelah langit-langit di dalam kepalaku. Ya tak satupun ide itu yang membentur saraf jemariku dan menggerakkan tuas semangatku untuk menulis lagi. Hingga tadi malam, nyala semangat itu terlihat sangat muram, kelabu dan temaram. Ia terbungkus dinginnya musim hujan kota Jakarta di bulan Februari. Tapi hari ini tidak.
Beberapa hari sebelumnya, layar di laptopku selalu menyedot habis semua energiku. Imajinasiku menguap hilang bersama ratusan baris kalimat yang saling bertabrakan dalam pengucapan hingga akhirnya semuanya gagal terlahir. Tidak satu atau dua kali saja ragaku terlelap lelah di hadapan sang laptop. Namun sesuatu di dalam jiwaku sepertinya masih terus bertahan dan membara. Setidakanya begitulah menurut Gonde. Itu juga pembenaran yang ia pakai setiap kali aku memarahi dia ketika berusaha membangunkanku dari tidur.
Bangun pagi dengan perasaan bersalah atas tagihan janji yang belum terpenuhi sangatlah tidak menyenangkan. Ini lah keisengan gila yang dia sedang lakukan padaku selama beberapa hari belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung. Dia mengguncang-guncang badanku sampai aku hampir jatuh dari tempat dudukku. Itulah yang terjadi setiap kali aku duduk di depan laptop dan hanya melamun sambil menunggu datangnya lelap. Tiba-tiba dia akan hadir di situ dan melakukan aksinya. Dasar manusia aneh. Ini juga terjadi saat aku sedang bersemedi di dalam toilet. Setelah menunggu beberapa saat, dia akan menggedor-gedor pintu agar aku segera keluar dan menyelesaikan tulisanku.
Gonde adalah satu-satunya teman dekatku yang terus berusaha memompa semangatku untuk kembali berbagi cerita. Menurut dia aku punya bakat dalam menulis. Ketika sahabat-sahabat yang lain harus menyerah dalam memotivasiku untuk karena mereka harus kembali ke dalam realitanya masing-masing, Gonde juga akan melakukan hal yang sama. Dia akan pergi kembali ke realita hidupnya sendiri. Tetapi tidak lama. Hanya sebentar. Segera dia akan kembali lagi dan mengacaukan frekunesi rutinitas hidupku, khususnya ritual tidur di depan laptopku.
Kami memang sahabat dekat. Tetapi, sering sekali aku berdoa kiranya kami tidak perlu sedekat itu.
Kalau sudah seperti ini aku akan balik badan lalu mengambil satu batu ajaib dari kampung yang sengaja aku simpan untuk masa-masa darurat seperti ini. Batu ajaib ini bekerja seperti batu kripton yang bisa menangkal kekuatan Superman. Bedanya, batu ini berfungsi untuk mengusir hanya orang-orang baik hati namun menyebalkan. Cara pakainya juga sangat gampang. Cukup masukkan batu ke dalam mulut, jepit erat dengan gigi geraham. Bisa di sebelah kiri ataupun kanan. Lalu tutup mulut serapat mungkin hingga barisan gigi depan tidak terlihat. Setelah beberapa saat, dijamin orang yang hendak diusir pasti akan pergi.
Hari ini udara dingin disertai hujan deras mengguyur Jakarta. Seperti biasa aku dan Gonde akan kembali hangout bareng karena urusan pekerjaan. Jika waktunya memungkinkan biasanya kami akan mencari alternatif lain dengan bermain basket. Tetapi belakangan ini, mungkin karena faktor usia, kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan berdiskusi. Diskusi tentang apa saja.
“Batu ajaibnya sudah dilepas, belum?” Pertanyaan ini langsung menodongku tanpa basa-basi. Sambil asik menyantap habis parcel nasi kuning dari hidangan bakti sosial yang kami hadiri tadi siang, dia melanjtkan, “Kalau belum… ya tolong dilepesin dong bro. Gua mau ngomong.”
Matanya terus kelayapan mencari sisa parcel atau hidangan lain yang masih ada di sekitar kami. “Bro, lu tau nggak dunia ini besarnya seperti apa?” lanjutnya.
Saat itu tangannya berhasil meraih sepotong risol goreng yang ada di dalam kantong plastik di dekat tempat dudukku. Aku tidak sempat menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan tidak sempat berpikir tentang jawaban yang tepat untuk itu. Dengan cepat jari-jemarinya berhasil melepaskan pembungkus risol itu dan siap memasukkan risol yang cukup besar itu secara utuh ke dalam mulutnya.
“Besar banget..!!” sambungnya tanpa berusaha menjelaskan konteks.
“Besar banget apanya bro? Risolnya? Hahaha.. Kalau udah urusan risol, lu kan selalu ga peduli ukuran. Kecil besar semua bisa dilahap habis ama lu,” jawabku sambil berusaha menebak arah percakapan kami. Pikiranku masih berada dalam cahaya temaram.
“Yaeelah… bro.. Dunia bro!! Dunia!! Dunia itu besar banget..,” jawabanya dengan mata yang berbinar-binar.
“Itu benar banget bro. Tapi, tau nggak? Buat gua, dunia yang besar ini bisa menyusut. Lebih tepatnya disusutkan. Dunia ini bisa menjadi sangat kecil sehingga sangat bisa untuk dikendalikan. Caranya? Banyak. Salah satunya ya… menulis.” Kali ini dia berbicara sambil mencondongkan badannya ke arahku. Jari-jari tangannya saling bertemu dan mulutnya berhenti menguyah. Risolnya telah tertelan habis.
“Konon katanya, sebuah tulisan mampu menciptakan dunia yang lebih kecil, lebih fokus, lebih mengkerucut. Dunia di mana waktu selalu terhenti. Konon lagi katanya seorang penulis juga bisa mengendalikan dunia lewat riak-riak kecil di dalam tulisannya. Ya… tentunya itu bisa dilakukan setelah dunia itu dijadikan kecil terlebih dahulu,” nada suaranya terdengar sangat meyakinkan.
“Nah… lu kan bisa nulis. Dan yang gua tau lu juga sebenarnya suka berbagi bercerita. Memang sih cerita dan guyonan lu emang belum cukup menarik dan belum ada yang berhasil dibuat menjadi film juga. Tapi gua masih ingat resolusi lu untuk tahun ini, bro. Lu mau membantu mengubah dunia kan?”
“Woooww.. kata siapa bro? Hahaha… ngarang lu..!!” jawabku kepadanya sambil berusaha menahan diri agar suara tawaku tidak bertambah keras.
“Hahaha.. iya lu bener. Gua ngarang doang soal resolusi lu. Kan waktu itu lu nulisnya juga pake sembunyi-sembunyi. Tapi nggak lama kemudian, kan lu juga yang datang ke gua dan bilang mau jadi penulis di tahun ini” dia menanggapiku sambil menyeringai.
“Tapi, Lu setuju kan kalau seorang penulis bisa mempengaruhi dunia?” pungkasnya.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Haha.. jelas ini sudah di luar nalarku.
Aku tahu dia baru saja menelan habis satu potong risol goreng ukuran besar dengan cabe hijau yang tidak kalah besar juga. Aku tahu itu pasti telah mempengaruhi apa yang baru saja dia katakan. Aku tahu aku ragu akan banyak hal. Tapi aku juga tahu... aku tahu aku akan segera menulis lagi..
Stretching dulu ahh... biar nulis lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar