Sabtu, 28 Januari 2017

Seni Pulang Kampung

Menurut kamu apa bagian yang paling menarik dalam frase ‘pulang kampung’ jika frase ini dipecah menjadi dua kata? “Pulang” atau “kampung?” Buatku bagian yang paling menarik adalah kata “pulang”. Aku adalah anak rantau. Asalku dari Gunungsitoli, Nias. Tentunya kalau pulang kampung ya pasti pulang kembali ke Gunungsitoli dong, hehe.

Aku pertamakali merantau di tahun 2004. Tujuannya adalah untuk kuliah di Medan. Setahun pertama aku tidak bisa merasakan yang namanya pulang kampung. Maklum saat itu tekad untuk mandiri sudah membaja di dalam hatiku sebagai orang muda. Tetapi di masa yang bersamaan dompet kesayanganku masih tetap gagal tebal. Yah.. curcol deh… hahaha. Ketidakmampuan ini terus berlanjut hingga awal tahun 2007. Kesempatan yang lama dinanti itu pun datang. Pikirku saat itu “Ah..akhirnya, aku nggak kalah seperti teman-teman yang lain”. Sejak saat itu aku pun menjadi rutin pulang kampung. Minimal sekali dalam dua tahun.

Tahun lalu untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berhasil pulang kampung sebanyak dua kali di tahun yang sama! Di banding 13 tahun lalu, sekarang aku memang jauh lebih tua. Tapi untungnya penghasilanku masih belum merenta. Saat ini aku bekerja di kantor yang ramah. Gajiku ditakar secukupnya oleh pihak HRD dan supervisorku sehingga aku tetap bisa menabung. Cutiku juga bisa diatur jadwalnya sehingga selama perjalanan aku bisa benar-benar bebas dari urusan kantor. 

Hehe.. You know what.. Tuhan itu baik! Baik....banget!! Pulang kampung atau nggak pulang kampung, Tuhan itu baik. Dia membuat semunya indah pada waktuNya. Sekarangpun aku bisa menulis, itu semata karena kebaikan Tuhan. Karena itu, aku tidak ragu untuk merangkai tulisan ini. 

Bagiku makna kata pulang yang dipadu dengan pengalamanku dari pulang kampung di tahun 2007 dan 2016 lalu telah memberikan ku beberapa nilai kehidupan yang sangat praktis. Aku ingin membagikannya kepada teman-teman semua sekedar untuk bertukar pikiran. Soalnya kalau bertukar cincin bisa runyam urusannya. Hehe. Semoga berkenan ya.

“Bro, Tuhan tahu kok sukacita lo itu segede apa soal pulang kampung. Dan Dia juga senang banget kok liat lo sukacita. Nah… sekarang fokus dong nulisnya.. Nyengir mulu!!”.

Belum sempat aku selesai menulis, tiba-tiba Gonde mengejutkanku dengan cipratan air yang mengenai mataku. Ternyata dia memperhatikanku sedari tadi dengan seksama. Aku memang membuat blog ini dengan meminjam laptonya sahabatku itu. Untung dia cukup sabar soalnya dia sedari tadi sudah antri untuk bisa memakai laptopnya sendiri. What a friend! 

Dia kembali asik mendengar musik dengan headsetnya sementara aku pun kembali meletakkan jari-jemariku di atas keyboard siap mengetik lagi. “Thanks buddy!”, ucapku singkat.

Here we go!

Poin pertama yang ingin aku tegaskan adalah pulang itu menyenangkan tapi jadi kampungan itu tidak! Perjalanan karirku telah membawaku dari kota ke kota lain dan dari desa/dusun ke desa/dusun yang lain. Aku belajar bahwa tidak ada orang yang suka disebut kampungan. Seakan-akan semua orang telah mengkerdilkan makna kampung dan semua nilai-nilai yang ada di dalamnya. Bahkan orang-orang yang lahir, besar dan hidupnya juga masih tinggal di kampung tidak suka disebut kampungan.

Namun ajaib bila kata kampung itu kita sandingkan dengan kata pulang sehingga menjelma menjadi ‘pulang kampung’, sekonyong-konyong derajat kampung itupun sekejap membumbung tinggi. Anggun, agung dan luhur. Ada suatu daya tarik seperti magnet yang bisa membuat orang lain yang mendengarnya menjadi jadi iri hati atau bahkan ikutan ingin pulang kampung. Mungkin itu naluri di mana semua batin makhluk hidup merasa nyaman dengan kata pulang.

So, kalau kamu pulang kampung, pastikan kamu bisa menikmati makna pulang dengan maksimal ya. Kalau tidak, bisa-bisa kamu hanya akan tejebak berada di kampung.

Berikutnya, pulang kampung tanpa nostalgia itu hambar. Coba bayangkan. Kamu bernostalgia dengan para mantan di kampung halaman. Menyenangkan nggak? Hehe.. tergantung sih ya. Tapi masa iya nostalgia hanya diartikan sesempit itu. 

Buatku nostalgia itu ibarat makan mie instant dengan merek dan produk yang sama. Rasanya tidak berganti. Tetap sama. Tapi nikmatnya meresap sampai ke hati. Asik kan?

Nostalgia itu pengulangan. Pengulangan hal-hal menyenangkan yang kita ketahui dari masa lalu. Hal ini bisa berupa interaksi dengan orang lain atau juga saat-saat menyendiri atau pun ketika kamu bisa terhubung dengan objek-objek menyenangkan dari masa lalu. Mengapa masa lalu? Iya dong. Kalau hubungannya ke masa depan, namanya investasi dong. Hehe

Karena alasan ini, bagi beberapa orang, duduk di depan TV pada saat pulang kampung tetap bisa terasa sangat menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan duduk melihat garis pantai di kala senja bagi orang lain yang menyukai interaksi dengan alam. Tidak heran untuk beberapa orang pulang kampung itu justru terasa berat. Sederhananya ialah karena orang tersebut tidak merasa memiliki kenangan menyenangkan dengan tempat yang ia sebut kampung tersebut. Hehe… kalau menurut kamu gimana?  

Poin terakhir yang aku bagikan lebih merupakan fakta observasi. People change. Full stop. 

Seiring waktu, kamu dan semua orang pasti berubah. Alasannya adalah respon kita terhadap tanggungjawab hidup. Tanggungjawab akan membawa perubahan yang jelas di dalam diri setiap orang. Semakin banyak tanggungjawab di dalam hidup seseorang maka seharusnya kita akan melihat banyak perubahan di sana-sini. Minimal di dalam kepribadian seseorang yang kemudian akan bersampak pada kondisi kampung tersebut. 

Memaksakan kehendak agar orang-orang atau lingkungan di sekitar kita untuk terus menerus berada di dalam suasana nostalgia karena keberadaan kita, menurut aku itu jelas bukan hal yang baik. Di samping karena akan menuntut biaya dan energi yang besar, hal itu juga akan menyita waktu banyak orang.

Satu-satunya cara agar skenario itu dapat berjalan dengan baik ialah jika aktifitas pulang kampung ini disulap menjadi kegiatan komersil atau bisnis. Hehe.. selama dapat memberi manfaat untuk semua orang dan tidak ada pihak yang dirugikan; semua orang setuju dan bahagia... well go on..

Wah… kok jadi rumit ya?? Hehe.. agar tidak terjebak dalam arus nostalgia sambil tetap bisa menikmati suasana pulang yang menyenangkan di kampung halaman, pastikan kamu punya daftar tujuan atau hal-hal yang ingin kamu lakukan serta orang-orang yang ingin kamu jumpai selama pulang kampung. Lakukan persiapan dan koordinasi dan kemudian gerakkan rencana kamu agar terlakasana. Fokus pada prioritas kamu. Selanjutnya, Tuhan pasti akan membawamu ke dalam kejadian-kejadian seru yang tidak kamu harapkan sebelumnya.  Aku menyebutnya seni pulang kampung.



6 komentar:

  1. Aku kalo pulang ke Medan tidur ajalah. Rumah mamak adalah tujuan untuk kembali. Asik juga nih kalau sekali kali ke Gunung Sitoli.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nostalgia d kasur idaman... Ehehe.. Mantaplah itu.. :)
      siap.. Bisa d kondisikanlah kalau k gunungsitoliny.. :) thanks sdh mampir blog y :)

      Hapus
  2. Iya setuju.. Pulang kampung jangan sekadar bernostalgia tapi manfaatkan yang lebih baik dari itu. Misalnya bertandang ke rumah kawan-kawan lama, pasti seruuu

    BalasHapus
  3. Tulisanmu mengingatkanku akan tulisanku tentang pulang kampung juga.
    Pulang kampung memang selalu memberikan cerita baru dan ingatan akan cerita lama yang akhirnya menjadi cerita baru juga.
    Semangat terus menulisnya, Fir.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trims Kak sudah datang berkunjung :) pasti dilanjutkan kak.. ehehe

      Hapus