Minggu, 08 Januari 2017

Belajar Gitar


“Jreng..jreng..jreng..”Itulah bunyi pertama yang kuhasilkan saat pertama memegang gitar. Sungguh, itu bukan nada. Hanya ajang pamer kekuatan dari seorang anak kecil pemalu.

Sekitar 20 tahun yang lalu, mendiang bapak membujukku untuk mau belajar gitar. Menurut bapak, bermain gitar adalah sebuah pergaulan. Supaya terdengar lebih meyakinkan, sering sekali bapak akan mendorongku dengan menyalahkan usia mudanya yang dulu tidak sempat ia pakai untuk belajar gitar.   
Saat itu aku memiliki seorang kakak sepupu yang berdang eceran di teras rumah. Wanita desa yang gigih dan tangguh. Begitulah aku menggambarkan semua sepupu wanitaku yang merantau dari kampung ke kota. Dari kampung kakek yang tersusun rapi sejak jaman batu di sepanjang lereng gunung nun jauh di sebelah Selatan pulau tempatku lahir.

Karena kepatuhannya dan juga desakan dari bapak, jadilah dia guru gitar pertamaku.  Dia cukup antusias denganku . Dia tahu aku berprestasi tinggi di sekolah. Sehingga ia yakin dan bilang padaku kalau akau akan mampu mahir bermain gitar dengan cepat. Saat itu aku pun percaya saja tanpa bisa menyembunyikan senyum mengembang di wajahku. Tapi, tidak sampai 1 jam aku sudah menyerah. Telapak tangan pegal. Ujung jariku menjadi perih tak kala menekan senar gitar dari satu titik ke titik yang lain secara bersamaan. Katanya itu belajar kunci gitar.

Selama sesi latihan yang singkat itu, aku merasa jadi sasaran tatapan orang-orang yang melintas di tempat itu. Secara perlahan namun pasti, aku merasa mereka seakan aku adalah seorang maestro gitar yang segera melangkah keluar dari gerobak kecil itu sambil menggenggam kepala gitar di tangan kiri sembari tangan kananku menyapa semua orang. Saat itu kuyakin cahaya lampu sorot akan ditujukan kepadaku dan dari belakang gerobak akan keluar efek kepulauan asap sebagai tanda dimulainya satu konser besar.

Semua fantasi itu  hancur dan tak bersisa. Aku yang unggul di sekolah dan juga ketua kelas dengan lihai mencari alasan untuk bisa istirahat kepada kakak sepupuku dan lalu pergi tak pernah kembali lagi sepanjang hari itu.  

Menyesal juga sih kalau diingat-ingat. Kalau saja aku cukup percaya diri, mungkin beberapa tahun kemudian aku bisa berhasil macarin salah satu cewek komisi pemuda di gerejaku. Kadang aku menyalahkan si kakak sepupu mengapa ia tidak cukup memaksaku untuk terus berlatih.

Walau begitu dia bersikap baik kepadaku walaupun aku selalu menolak untuk dijarin gitar lagi oleh dia. Kekesalannya hanya memuncak ketika aku datang hanya untuk merengek minta permen pala atau permen kacang gratis. Dia selalu bilang kalau hari itu dagangannya belum ada yang laku. “Modal belum kembali, dek”
Sekarang aku sudah berusia kepala trisula. Jika mengingat kembali semua itu aku hanya bisa bilang.. “Dasar anak kecil…”

Sahabat baikku Gonde juga punya pengalaman yang unik tentang gitar. Namun menurtuku, kucing ajaib di dalam kepalanyalah yang menentukan persamaan dan perbedaan hasil akhir kami dalam bergitar. Tanpa pernah mengeong, menurutku heman ini terus menerus memutus syaraf-syaraf penting di dalam otak sahabatku dengan kukunya. Dan puncaknya adalah saat ia jatuh hati kepada seorang gadis cantik teman kelasnya di SMP. Kucing itu telah membuat hidupnya berada dalam berbagai kegilaan. Justru Gonde menyebut masa-masa itu, masa keemasan yang penuh petualangan.

Tidak seperti aku, Gonde berburu gitar pinjaman tanpa kenal lelah. Sampai-sampai hobi masa kecilnya pun ia berhasil ia tinggalkan. Belum lagi usahanya mencari uang yang selalu berakhir buntung dan bikin nagih, juga berhasil ia abaikan. Dia yang semula hanya tahu lagu gereja dan lagu pembuka film silat, akhirnya secara perlahan mengenal lagu pop yang notabene adalah lagu-lagu kesukaan sang gebetan yang aduhai. Gitar mahal ataupun gitar murah dia sudah pernah pinjam juga. Dia tidak bisa berhenti.

Akhir cerita, Gonde pun bisa bermain gitar. Sayangnya dia tidak pernah berhasil mendapatkan hati gadis cantik itu. Penyebabnya banyak. Mungkin salah satunya adalah karena dia bukan anak band. Ternyata dia lebih menonjol di bidang olahraga dan saat itu dia belum memahami kegunaan pewangi badan dan juga minyak rambut.   

Sampai sekarang dia masih bermain gitar walau hanya untuk konsumsi pribadi. Biasanya sehabis bermain basket ataupun sebelum mengucap syukur di pagi hari, dia akan  coba merangkai nada yang nantinya bisa diubah menjadi sebuah sebuah lagu. Gitar belum membawanya ke banyak tempat. Tapi sekarang sudah punya gitar sendiri yang telah ia bawa ke banyak tempat di Negara ini.


Dari semua ini aku belajar satu hal. Segala sesuatu yang dilakukan dengan cinta akan tumbuh dan menghasilkan buah yang indah.




2 komentar:

  1. cerita pengalaman yang menarik! intinya belajar gitar itu asal konsisten dan niat pasti bisa ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mbak... ehehe... apa lagi kalau motivasinya adalah gebetan.. ehehe :D

      Hapus