Perlu optimisme besar untuk menyongsong
tahun yang baru. Tanpa itu, tahun baru hanya akan terasa seperti tarikan nafas
baru yang datang dan pergi setiap detik. Hanya penanda kehidupan tanpa adanya
geliat. Buatku tahun baru akan benar-benar baru jika diawali dengan dengan target-target
baru yang relevan untuk dicapai. Setidaknya cukup relevan untuk orang-orang
yang akan kita kasihi sepanjang tahun baru.
Apakah satu tahun saja cukup
untuk menunjukkan rasa kasih? Pastinya tidak. Menurutku setiap kisah tentang
orang-orang yang dikasihi layak memiliki durasi waktu lebih dari satu tahun. Ya.. tentunya dengan harga extra juga dong.
Hehe..
Aku dan Gonde sudah berhasabat
sangat lama. Kami cukup kenal satu sama lain. Aku juga menyadari bahwa aku
bukan seorang sahabat yang baik untuk dia. Alasannya cukup sederhana. Aku belum
bisa menerima keunikannya. Salah satunya adalah keunikannya yang mampu menerima
aku apa adanya. Pertengkaran di antara kami sudah tidak terhitung. Jumlahnya sama
persis dengan jumlah gencatan senjata di antara kami.
Awal tahun baru 2017 juga ikut
merekam pertengkaran dalam persahabatan kami. Saat itu aku merasa gagal
memenuhi syarat utama untuk memasuki tahun baru, Aku tidak memiliki optimism yang
cukup besar. Tidak ada daftar daftar target untuk dicapai. Setidaknya sampai
akhirnya dia mengingatkanku akan orang-orang yang ada untuk aku kasihi di
sepanjang tahun 2017.
Gonde itu jomblo ngenes yang,
menurutku, sangat paham arti mengasihi. Saking pahamnya, aku merasa sering
dijadikan kelinci percobaan oleh dia untuk teori-teori idealismenya. Beberapa
berhasil dan beberapa berakhir dengan kisah konyol.
Tentang mengasihi, begini cara dia
menyimpulkannya, “Untuk mengasihi orang lain, kita harus memberi. Lalu, untuk
memberi kita wajib hukumnya memiliki sesuatu. Tetapi yang paling penting.. supaya
mampu memberi secara terus menerus, apa yang lu miliki haruslah cukup besar.
Kalau nggak, ntar cepat habisnye…”
Waktu itu aku tidak begitu
menggubris teori barunya. Aku hanya ingat dia segera buru-buru pergi setelah
menyampaikan orasinya. Katanya sih dia lagi ada janji ketemu dengan gebetannya.
Kata-katanya masih tersimpan di kepalaku. Tetapi aku tidak tahu pasti di bagian
mana.
Hari ini aku tidak masuk kantor
karena libur hari besar Nasional dan aku tidak punya banyak kegiatan yang harus
dikerjakan. Iseng-iseng akupun mencoba menulis lagi setelah hampir dua bulan
tidak menulis. Dan tema pertama yang terlintas di kepalaku adalah tentang ‘besar’.
Setiap mendengar kata ‘besar’,
siapa saja pasti akan segera terhubung dengan suatu konsep yang berhubungan
dengan ukuran. Salah satu hal besar yang tidak terpungkiri kebesarannya adalah
dunia. Coba bayangkan berapa milyar penduduk dunia saat ini? Laut dan juga
daratannya yang masih belum dijelajahi oleh pemukiman manusia. Biaya yang
diperlukan untuk bisa mengelilinginya.
Ya. Dunia itu besar. Aku mempelajari fakta ini baik di sekolah formal
maupun lembaga informal lainnya. Kemanapun aku pernah pergi, kebenaran ini
tidak tersanggah. Setidaknya oleh aku secara pribadi.
Suatu hari di tahun 2016 saat
sedang ibadah Minggu, aku mendengar khotbah seorang gembala sidang gereja di
Jakarta yang juga membahas tentang makna ‘besar’. Dan aku mendapat fakta baru
yang dia tawarkan justru lebih nyata dan menarik. Beliau berkata, besar
tidaknya dunia seseorang sebenarnya itu ditentukan oleh ukuran hati orang
tersebut. Perkataan itu tidak terdengar meragukan bagiku, tetapi justru
menyadarkan. Saat itu aku seperti orang tertampar dan sesaat kemudian tersenyum
kembali.
Kembali pada saat di mana aku
bertengkar dengan Gonde di awal tahun baru 2017, sebenarnya perkataan inilah yang
memampukan aku berdamai dengan hatiku dan juga dengan sikap sok tahu sahabatku
itu hingga akkhirnya aku pun mau mengikuti arahannya.
Dalam perjalanan melewati waktu
demi waktu di tahun baru ini, arti kata besar ini kembali dipampangkan dengan
jelas di depan mataku. Kali ini di depan layar besar. Tepatnya, layar bioskop
di salah satu mall di Jakarta. Untungnya kala itu, Gonde tidak ikut bersamaku.
Aku tidak ingin mendengar ocehannya sepanjang pemutaran film. Bosan. Well, aku
ditemani oleh seorang teman baru saat itu. Teman baru yang mau membawakan
makanan untukku bahkan setelah tahu porsi makananku yang juga besar.
Judul film itu, La La Land.
Bagiku hanya ada satu cara yang
tepat untuk mengapresiasi film ini. Standing
Ovation while smiling with your eyes keep starting at the cinema. Itu yang
aku lakukan saat pertunjukan film itu berakhir.
Film ini dimulai dengan gejolak
energi orang-orang yang bergerak maju ke arah tujuan yang sama walau harus
dengan berdesak-desakan. Kemudian, ceritanya dilanjutkan dengan peleburan dan
perpaduan antara perjalanan musikal ke tempat-tempat romantis dan kesempatan-kesempatan
langka tak berujung jelas dalam usaha mengubah alur perjalanan hidup. Dan
terakhir, kisah film ini ditutup secara elegan dan berbalut realita yang,
menurutku, sangat jelas, tegas dan mendidik.
Dalam kesimpulan singkat, aku
akan mengatakan bahwa film ini berhasil menunjukkan fakta bahwa dunia itu besar
dan juga fakta mengenai besar tidaknya dunia seseorang yang ditentukan oleh
ukuran hatinya.
Di bagian akhir film ditampilkan
sebuah tahapan kehidupan di mana kedua tokoh utama yang adalah sepasang
kekasih; Sebastian dan Maya, berhasil meraih mimpi mereka. Sayangnya hubungan kasih-mengasihi mereka
harus kandas bahkan jauh sebelum mereka akhirnya bertemu kembali. Walaupun
bagian akhir film dipenuhi dengan dunia khayal yang dapat diciptakan oleh
kreatifitas dan daya kerja otak manusia, sungguh aku tidak menemukan hati mereka
di dalam alam fantasi tersebut. Ketidakhadiran hati mereka dalam bagian itulah
yang, menurutku, telah mengakhiri kisah mereka.
Faktor lain yang membuat hubungan
mereka tidak berlanjut, tidak lain tidak bukan,
tentunya adalah karena durasi film nya habis. Dan itulah saatnya bagi
para penonton bioskop untuk meninggalkan ruangan. Pergi dengan interpretasi di
dalam benaknya masing-masing.
Setelah menemani si teman baru
dan kemudian berpisah menuju rumah masing-masing, pikiranku masih terus
merangkai-rangkai kemungkinan yang bisa terjadi seandainya saja durasi atau
waktu film itu ditambah. Aku coba membandingkannya dengan durasi waktu ketika
mereka terpisah oleh jarak dan waktu serta mereka membiarkan langkah mereka
dipimpin oleh hati mereka masing-masing. Mungkin Sebastian dan Maya akan bisa
bersatu kembali sebagai pasangan sah atau bahkan hanya sekedar selingkuhan romantis.
Apalagi saat itu mereka tinggal di kota yang sama. Bagian yang sangat kecil
jika dibandingkan dengan ukuran luas dunia yang telah berhasil mereka jelajahi.
Well, tidak ada yang dapat
menghentikan laju waktu. Tetapi dorongan hati seseorang akan mampu menunggangi
sang waktu.
Masih dalam perjalanan pulang,
aku merasa terdorong untuk membuat teori baru tentang romantisme. Yang
terbayang saat itu adalah aku tidak sabar ingin menguji teori kepadanya si
jomblo ngenes yang sedang mencari pendamping di keesokan harinya. Sungguh, adegan
penutup dari film itu sungguh sangat berkesan. Begini teorinya,
‘Seorang kekasih mengenal potensi kekasihnya dan mendorong kekasihnya
untuk meraih mimpinya. Namun seorang dewasa tahu kapan untuk berhenti dan mengakhiri
sesuatu dengan lapang dada; melihat ke belakang kemudian berlalu dengan
tersenyum.’
Yang tadi itu versi panjangnya.
Versi pendeknya seperti ini,
Dibutuhkan kedewasaan untuk bisa mengatakan “Cukup. Aku baik-baik saja.
Saatnya pergi dari sini”
Malam itu, aku ingat, kami para
penonton juga menunjukkan sikap dewasa. Kami semua dengan teratur meninggalkan
ruang bioskop ketika pertunjukan telah selesai dan lampu-lampu ruangan telah
kembali dinyalakan. Tanpa kedewasaan, lampu-lampu yang kembali dinyalakan itu tentunya
tidak akan terlihat menawan sebagaimana mestinya, melainkan mengusir. Mengusir
dengan halus.
So, there they are. Have a big time and be mature yo’ll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar