Selasa, 18 April 2017

Tahun Baru di La La Land



Perlu optimisme besar untuk menyongsong tahun yang baru. Tanpa itu, tahun baru hanya akan terasa seperti tarikan nafas baru yang datang dan pergi setiap detik. Hanya penanda kehidupan tanpa adanya geliat. Buatku tahun baru akan benar-benar baru jika diawali dengan dengan target-target baru yang relevan untuk dicapai. Setidaknya cukup relevan untuk orang-orang yang akan kita kasihi sepanjang tahun baru.

Apakah satu tahun saja cukup untuk menunjukkan rasa kasih? Pastinya tidak. Menurutku setiap kisah tentang orang-orang yang dikasihi layak memiliki durasi waktu lebih dari satu tahun. Ya.. tentunya dengan harga extra juga dong. Hehe..  

Aku dan Gonde sudah berhasabat sangat lama. Kami cukup kenal satu sama lain. Aku juga menyadari bahwa aku bukan seorang sahabat yang baik untuk dia. Alasannya cukup sederhana. Aku belum bisa menerima keunikannya. Salah satunya adalah keunikannya yang mampu menerima aku apa adanya. Pertengkaran di antara kami sudah tidak terhitung. Jumlahnya sama persis dengan jumlah gencatan senjata di antara kami.

Awal tahun baru 2017 juga ikut merekam pertengkaran dalam persahabatan kami. Saat itu aku merasa gagal memenuhi syarat utama untuk memasuki tahun baru, Aku tidak memiliki optimism yang cukup besar. Tidak ada daftar daftar target untuk dicapai. Setidaknya sampai akhirnya dia mengingatkanku akan orang-orang yang ada untuk aku kasihi di sepanjang tahun 2017.

Gonde itu jomblo ngenes yang, menurutku, sangat paham arti mengasihi. Saking pahamnya, aku merasa sering dijadikan kelinci percobaan oleh dia untuk teori-teori idealismenya. Beberapa berhasil dan beberapa berakhir dengan kisah konyol.

Tentang mengasihi, begini cara dia menyimpulkannya, “Untuk mengasihi orang lain, kita harus memberi. Lalu, untuk memberi kita wajib hukumnya memiliki sesuatu. Tetapi yang paling penting.. supaya mampu memberi secara terus menerus, apa yang lu miliki haruslah cukup besar. Kalau nggak, ntar cepat habisnye…”

Waktu itu aku tidak begitu menggubris teori barunya. Aku hanya ingat dia segera buru-buru pergi setelah menyampaikan orasinya. Katanya sih dia lagi ada janji ketemu dengan gebetannya. Kata-katanya masih tersimpan di kepalaku. Tetapi aku tidak tahu pasti di bagian mana.  



Hari ini aku tidak masuk kantor karena libur hari besar Nasional dan aku tidak punya banyak kegiatan yang harus dikerjakan. Iseng-iseng akupun mencoba menulis lagi setelah hampir dua bulan tidak menulis. Dan tema pertama yang terlintas di kepalaku adalah tentang ‘besar’.

Setiap mendengar kata ‘besar’, siapa saja pasti akan segera terhubung dengan suatu konsep yang berhubungan dengan ukuran. Salah satu hal besar yang tidak terpungkiri kebesarannya adalah dunia. Coba bayangkan berapa milyar penduduk dunia saat ini? Laut dan juga daratannya yang masih belum dijelajahi oleh pemukiman manusia. Biaya yang diperlukan untuk bisa mengelilinginya.  Ya. Dunia itu besar. Aku mempelajari fakta ini baik di sekolah formal maupun lembaga informal lainnya. Kemanapun aku pernah pergi, kebenaran ini tidak tersanggah. Setidaknya oleh aku secara pribadi.

Suatu hari di tahun 2016 saat sedang ibadah Minggu, aku mendengar khotbah seorang gembala sidang gereja di Jakarta yang juga membahas tentang makna ‘besar’. Dan aku mendapat fakta baru yang dia tawarkan justru lebih nyata dan menarik. Beliau berkata, besar tidaknya dunia seseorang sebenarnya itu ditentukan oleh ukuran hati orang tersebut. Perkataan itu tidak terdengar meragukan bagiku, tetapi justru menyadarkan. Saat itu aku seperti orang tertampar dan sesaat kemudian tersenyum kembali.

Kembali pada saat di mana aku bertengkar dengan Gonde di awal tahun baru 2017, sebenarnya perkataan inilah yang memampukan aku berdamai dengan hatiku dan juga dengan sikap sok tahu sahabatku itu hingga akkhirnya aku pun mau mengikuti arahannya.



Dalam perjalanan melewati waktu demi waktu di tahun baru ini, arti kata besar ini kembali dipampangkan dengan jelas di depan mataku. Kali ini di depan layar besar. Tepatnya, layar bioskop di salah satu mall di Jakarta. Untungnya kala itu, Gonde tidak ikut bersamaku. Aku tidak ingin mendengar ocehannya sepanjang pemutaran film. Bosan. Well, aku ditemani oleh seorang teman baru saat itu. Teman baru yang mau membawakan makanan untukku bahkan setelah tahu porsi makananku yang juga besar.

Judul film itu, La La Land.




Bagiku hanya ada satu cara yang tepat untuk mengapresiasi film ini. Standing Ovation while smiling with your eyes keep starting at the cinema. Itu yang aku lakukan saat pertunjukan film itu berakhir.

Film ini dimulai dengan gejolak energi orang-orang yang bergerak maju ke arah tujuan yang sama walau harus dengan berdesak-desakan. Kemudian, ceritanya dilanjutkan dengan peleburan dan perpaduan antara perjalanan musikal ke tempat-tempat romantis dan kesempatan-kesempatan langka tak berujung jelas dalam usaha mengubah alur perjalanan hidup. Dan terakhir, kisah film ini ditutup secara elegan dan berbalut realita yang, menurutku, sangat jelas, tegas dan mendidik.

Dalam kesimpulan singkat, aku akan mengatakan bahwa film ini berhasil menunjukkan fakta bahwa dunia itu besar dan juga fakta mengenai besar tidaknya dunia seseorang yang ditentukan oleh ukuran hatinya.

Di bagian akhir film ditampilkan sebuah tahapan kehidupan di mana kedua tokoh utama yang adalah sepasang kekasih; Sebastian dan Maya, berhasil meraih mimpi mereka.  Sayangnya hubungan kasih-mengasihi mereka harus kandas bahkan jauh sebelum mereka akhirnya bertemu kembali. Walaupun bagian akhir film dipenuhi dengan dunia khayal yang dapat diciptakan oleh kreatifitas dan daya kerja otak manusia, sungguh aku tidak menemukan hati mereka di dalam alam fantasi tersebut. Ketidakhadiran hati mereka dalam bagian itulah yang, menurutku, telah mengakhiri kisah mereka.  

Faktor lain yang membuat hubungan mereka tidak berlanjut, tidak lain tidak bukan,  tentunya adalah karena durasi film nya habis. Dan itulah saatnya bagi para penonton bioskop untuk meninggalkan ruangan. Pergi dengan interpretasi di dalam benaknya masing-masing.



Setelah menemani si teman baru dan kemudian berpisah menuju rumah masing-masing, pikiranku masih terus merangkai-rangkai kemungkinan yang bisa terjadi seandainya saja durasi atau waktu film itu ditambah. Aku coba membandingkannya dengan durasi waktu ketika mereka terpisah oleh jarak dan waktu serta mereka membiarkan langkah mereka dipimpin oleh hati mereka masing-masing. Mungkin Sebastian dan Maya akan bisa bersatu kembali sebagai pasangan sah atau bahkan hanya sekedar selingkuhan romantis. Apalagi saat itu mereka tinggal di kota yang sama. Bagian yang sangat kecil jika dibandingkan dengan ukuran luas dunia yang telah berhasil mereka jelajahi.

Well, tidak ada yang dapat menghentikan laju waktu. Tetapi dorongan hati seseorang akan mampu menunggangi sang waktu.



Masih dalam perjalanan pulang, aku merasa terdorong untuk membuat teori baru tentang romantisme. Yang terbayang saat itu adalah aku tidak sabar ingin menguji teori kepadanya si jomblo ngenes yang sedang mencari pendamping di keesokan harinya. Sungguh, adegan penutup dari film itu sungguh sangat berkesan. Begini teorinya,

‘Seorang kekasih mengenal potensi kekasihnya dan mendorong kekasihnya untuk meraih mimpinya. Namun seorang dewasa tahu kapan untuk berhenti dan mengakhiri sesuatu dengan lapang dada; melihat ke belakang kemudian berlalu dengan tersenyum.’

Yang tadi itu versi panjangnya. Versi pendeknya seperti ini,

Dibutuhkan kedewasaan untuk bisa mengatakan “Cukup. Aku baik-baik saja. Saatnya pergi dari sini”



Malam itu, aku ingat, kami para penonton juga menunjukkan sikap dewasa. Kami semua dengan teratur meninggalkan ruang bioskop ketika pertunjukan telah selesai dan lampu-lampu ruangan telah kembali dinyalakan. Tanpa kedewasaan, lampu-lampu yang kembali dinyalakan itu tentunya tidak akan terlihat menawan sebagaimana mestinya, melainkan mengusir. Mengusir dengan halus.

So, there they are. Have a big time and be mature yo’ll






Tidak ada komentar:

Posting Komentar